BAB 3
HUKUM PERIKATAN
Perikatan
Perikatan
adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih,
yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi, begitu juga sebaliknya.
Dalam
bahasa Belanda perikatan disebut verbintenissenrecht. Namun, terdapat perbedaan
pendapat dari beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah hukum perikatan.
Misalnya, Wiryono Prodjodikoro dan R. Subekti.
- Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Perjanjian, (bahasa Belanda: het verbintenissenrecht) jadi, verbintenissenrecht oleh Wirjono diterjemahkan menjadi hukum perjanjian bukan hukum perikatan.
- R.Subekti tidak menggunakan istilah hukum perikatan, tetapi menggunakan istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III KUH Perdata tentang perikatan. Dalam bukunya Pokok Pokok Hukum Perdata, R. Subekti menulis perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab di dalam Buku III KUH Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari :
b. perbuatan
yang melanggar hukum;
c. pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemiing).
Perjanjian
dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hukum perjanjian disebut
overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih luas dari
perjanjian, perikatan dapat terjadi karena
- perjanjian (kontrak), dan
- bukan dari perjanjian (dari undang-undang).
Perjanjian adalah peristiwa di mana
pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal yang kemudian timbul hubungan hukum, inilah yang dinamakan hukum perikatan
Dengan
kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang
menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
Dasar
Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut.
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan
yang timbul dari undang-undang.
Perikatan yang timbul dari
undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yakni perikatan terjadi karena
undang-undang semata dan perikatan terjadi karena undang-undang akibat dari
perbuatan manusia.
a. Perikatan terjadi
karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan
mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan.
b. Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi
karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum
(tidak sah).
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan
perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
Asas-Asas
dalam Hukum Perjanjian
Asas-asas
dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut asas
kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme.
- Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat
di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian
yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya cara ini dikatakan
sistem terbuka.
- Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa
perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, asas konsensualisme
lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah :
a. Kata Sepakat Antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
b. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
c. Mengenai Suatu Hal Tertentu
d. Suatu Sebab yang Halal
Dengan
demikian, jika dilihat dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian maka dapat
dibedakan menjadi dua bagian dari suatu perjanjian, yaitu bagian inti dan
bagian bukan inti.
1) Bagian Inti (Ensensial)
Bagian inti (ensensial) adalah
bagian yang sifatnya harus ada di dalam perjanjian. Jadi, sifat ini yang
menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta.
2) Bagian Bukan Inti
Bagian bukan inti terdiri dari
naturalia dan aksidentialia.
a) Naturalia adalah sifat yang di bawa oleh perjanjian sehingga
secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacad
dalam benda yang akan dijual.
b) Aksidentialia adalah sifat melekat pada perjanjian yang
secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.
Wansprestasi
Sementara
itu, wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa
yang diperjanjikan, misalnya ia alpa (lalai) atau ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa
berupa empat kategori, yakni
- tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
- melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
- melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
- melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Di dalam Pasal 1238 KUH Perdata
menyebutkan bagaimana caranya memperingatkan seseorang debitur,
"Si berutang adalah lalai, bila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demi perikatannya sendiri, jika ini menetapkan bahwa si berutang
akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan."
Dengan demikian, terhadap kelalaian
atau kealpaan si debitur sebagai pihak yang melanggar kewajiban dapat diberikan
beberapa sanksi atau hukuman.
Akibat-Akibat
Wansprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wanspretasi, dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
- Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci
meliputi tiga unsur, yaitu :
a. biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur;
c. bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
- Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Pembatalan perjanjian atau pemecahan
perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan.
- Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban
untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah
satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal
1237 KUH Perdata.
Hapusnya
Perikatan
Perikatan
itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut:
- pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;
- penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
- pembaharuan utang;
- perjumpaan utang atau kompensasi;
- percampuran utang;
- pembebasan utang;
- musnahnya barang yang terutang;
- batal pembatalan;
- berlakunya suatu syarat batal;
- lewat waktu.
REFERENSI
Elsi Kartika Sari, S.H.,M.H. dan Advendi Simanunsong, S.H.,M.M,
2008. Hukum Dalam Ekonomi Edisi 2, Jakarta: PT. Grasindo.